Sabtu, 19 Februari 2011

Perlu Tau, Kutu yang Hidup di Alat Kelamin Manusia

Orang sering mengagap daerah kemaluan adalah daerah terlarang sehingga ada yang merasa canggung untuk menjamahnya bahkan malu untuk melihatnya. Hal ini dinilai sangat baik bagi golongan tertetu, tapi secara kesehatang ada sedikit berbeda pandangan. ke enggana, malu atau merasa jijik menyentuh daerah kemaluan oleh pemiliknya sendiri membuat daerah ini jadi kurang terawat. hal ini menyebabkan tidak terjaganya daerah tersebut. Apakah anda tahu akibatnya jika daerah kemaluan ini tidak bersih?

Pthirus atau Phthirus pubis (disebut juga Pubic lice atau kutu Pubic) adalah serangga parasit penghisap darah yang hidup di kulit sekitar kelamin manusia. Manusia adalah satu-satunya tuan rumah parasit ini. Manusia dapat juga penuh dengan kutu tubuh (Pediculus humanus corporis) dan kutu kepala (Pediculus humanus capitis).

Kutu kelamin biasanya menular melalui hubungan seksual. Penularan dari orang tua kepada anak lebih mungkin terjadi melalui rute pemakaian handuk, pakaian, tempat tidur atau closets yang sama secara bergantian. Orang dewasa lebih sering terkena daripada anak-anak.

Gejala utamanya adalah gatal, biasanya di daerah jembut. Itu hasil dari sentuhan liur kutu dengan kulit kita, dan (rasa gatal) menjadi semakin kuat pada dua minggu atau lebih. Kutu Pubic menyebar melalui keringat saat kontak tubuh atau seksual. Oleh karena itu, siapa pasangan seks si pasien dalam waktu 30 hari sebelumnya harus dievaluasi dan diobati, dan kontak seksual harus dihindari sampai perawatan berakhir dangan kesembuhan.

Gigitan kutu dapat menimbulkan luka pada kulit yang menjadi jalan masuk bagi organisme lainnya sehingga terdapat hubungan yang kuat antara keberadaan kutu pubic dengan IMS. Dalam hal ini adalah keharusan bagi pasien untuk mau diperiksa apakah terjangkit jenis IMS lainnya.

Walaupun salah satu bagian tubuh menjadi koloni kutu ini, mereka tetap lebih menyukai daerah rambut kemaluan dan anal. Pada pasien laki-laki, kutu dan telur juga dapat ditemukan pada rambut di daerah perut, kumis dan janggut. Sementara pada anak-anak mereka biasanya ditemukan di bulu mata.

Pthirus atau Phthirus pubis (disebut juga Pubic lice atau kutu Pubic) adalah serangga parasit penghisap darah yang hidup di kulit sekitar kelamin manusia. Manusia adalah satu-satunya tuan rumah parasit ini. Manusia dapat juga penuh dengan kutu tubuh (Pediculus humanus corporis) dan kutu kepala (Pediculus humanus capitis).

Kutu Pubic biasanya menular melalui hubungan seksual. Penularan dari orang tua kepada anak lebih mungkin terjadi melalui rute pemakaian handuk, pakaian, tempat tidur atau closets yang sama secara bergantian. Orang dewasa lebih sering terkena daripada anak-anak.

Kutu Pubic biasanya didiagnosis seksama dengan memeriksa di rambut kemaluan (jembut) apakah terdapat kutu Pubic dalam bentuk telur, anak (nymph), dan kutu dewasa. Kutu dan telur dapat dihilangkan baik dengan memotong seluruh rambut (dengan pengecualian pada daerah mata). Sebuah kaca pembesar atau stereo-mikroskop dapat digunakan untuk identifikasi yang tepat. Jika kutu telah terdeteksi dalam satu anggota keluarga, maka seluruh anggota keluarga harus diperiksa dan perawatan dilakukan untuk orang-orang yang mengidap kutu tersebut

Kamis, 17 Februari 2011

Go Green,Ramah Lingkungan Fersi Indonesia

 biar ga dibilang kuno tapi tetep ramah lingkungan (tanpa BBM dan Polusi pastinya)


 Gunakan perabotan yang bukan dari bahan industri dan susah di daur ulang




 Gunakan tenaga manusia untuk mengurangi polusi udara dari industri maupun kendaraan bermotor


 Rumah tanpa efek kaca dan penyejuk udara serta memanfaatkan energi alam yang tersedia


Tak perlu mengganggu keberadaan lahan hijau sebagai perumahan dengan fasilitas kolam renang, dengan memanfaatkan danau atau sungai yang ada bersama teman maupun tetangga serasa lebih asik, rame, hemat dan ramah lingkungan

Go Green, Lampu Jalan yang Bisa Membersihkan Udara

Saat ini sering kita mendengar bahaya pemanasan global dan pencemaran lingkungan. Terlebih pada kota-kota besar seperti Jakarta, polusi udara sudah pada tahap kronis. Banyak upaya yang telah dilakukan, saat ini terkutat pada penghijauan atau pembuatan taman. Akan tetapi ketersediaan lahan menjadi masalah utama dalam pemenuhannya. Lalu apakah ada cara lain yang munkin bisa dilakukan? 
Teknologi adalah jawaban yang tepat. walau semua masalah ini berawal dari teknologi namun bukan berarti teknologi itu jelek terhadap lingkungan. Saat ini sedang dikembangkan konsep Biolamp, penelitian ini mungkin bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah polusi udara dikota-kota besar dan industri seperti di Jakarta. Selain sebagai penerangan jalan dapat juga sebagai pembersih udara sehingga polusi yang terjadi dapat diminimalisir. Biolamp tidak hanya ditujukan untuk membersihkan udara, namun juga bisa mengisi bahan bakar mobil-mobil ramah lingkungan. Desain ini menerapkan energi surya dan pemakaian cairan khusus untuk bisa membuatnya bekerja.

Biolamp didesain untuk mengubah karbon dioksida menjadi bahan bakar. Bahan bakar ini dipakai untuk menyalakan lampu jalan di malam hari, dan juga mobil-mobil yang ramah lingkungan. Biolamp memiliki sebuah pompa yang secara harfiah menghisap asap dan polutan lainnya dari udara. Di dalamnya ada sebuah cairan yang terbuat dari ganggang dan dicampur dengan air. Pada siang hari, Biolamp menarik asap ke dalam sistem spiralnya di mana air dan CO2 digunakan untuk mengubah ganggang menjadi sebuah biomassa. Sebagian di antaranya disimpan sebagai energi untuk menyalakan lampunya menjelang malam hari. sisa dari biomassa tersebut lalu disaring melalui sebuah sistem pipa bawah tanah ke dalam sebuah fasilitas yang akan mengubahnya menjadi bahan bakar yang bisa dipakai oleh mobil-mobil ramah lingkungan. Meski tampak rumit, terutama pipa bawah tanah yang digunakan untuk mengangkut biomassa, namun dengan kemampuannya membersihkan udara, dan menyediakan biomassa dalam jumlah tidak terbatas untuk diubah menjadi biofuel, Biolamp menjadi desain yang layak dipertimbangkan.
sumber : maniatekno

Selasa, 01 Februari 2011

TANAH GROGOT

 
Kota Tanah Grogot berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Bersamaan dengan itu ikut pula La Madukelleng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu sering mengadakan pesta sabung ayam.
Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar La Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.
La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung, dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa berangkat dari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo.
Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan La Madukelleng untuk berlayar menuju tanah Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.
Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E : suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan Kota Tanah Grogot.
Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot sekitar tahun 1829 M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk meminta ijin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut Tanah Grogod.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai setelah dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penduduk tersebut lebih dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat. Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibukota Kabupaten Paser.


WAJAH KOTA TANAH GROGOT

                                                       Ruas Jalan Kota Tanah Grogot
 


Masjid Agung 


 Kandilo Plaza


 

Taman Seni dan Promosi






Taman Tepian Sungai Kandilo




Taman Putri Betung (Taman Gambar)




 Taman Putri Shaleha (Taman Bunga)


MENGENAL KABUPATEN PASER


Kabupaten Paser awalnya adalah Kabupaten Pasir sebagai daerah otonomi Kalimantan Timur yang pengesahannya berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan, dengan sebutan Daerah Swatantra Tingkat II Pasir.
Sebelum UU 27 Tahun 1959 ditetapkan, daerah Pasir berbentuk kewedanaan yang berada dalam wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan di Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1959 Nomor C-17/15/3 yang bersifat sementara, dan Penetapan Gubernur Kalimantan Timur tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14.
Lahirnya UU Nomor 27 tahun 1959 tanggal 29 Desember 1959 memberikan momentum yang sangat penting yakni terlepasnya kewedanaan Batu Besar dari wilayah daerah Swatantra Tingkat II Pasir dan dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Pada tanggal 3 Agustus 1961 Daerah Swatantra Tingkat II Pasir dimasukkan ke dalam Wilayah Kalimantan Timur. Pada tanggal 29 Desember 1961 dilaksanakanlah serah terima oleh Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Selatan, H. Maksid kepada Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Timur, A.P.T. Pranoto di Departemen Dalam Negeri, Jakarta.
Melalui perjuangan Bupati Paser H.M. Ridwan Suwidi dan Wakil H.M. Hatta Garit waktu itu, Kabupaten Pasir berubah nama menjadi Kabupaten Paser yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2007.
Secara Geografis Kabupaten terletak pada posisi 00 45'18,37" - 20 27'20,82" LS dan 1150 36'14,5" -1660 57'35,03" BT.
Batas-batas wilayah kabupaten paser meliputi :

    1.   Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat,
   2.   Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara  dan Selat Makasar
    3.   Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan
    4.   Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan. 

Luas wilayah Kabupaten Paser saat ini adalah 11.603,94 km², terdiri dari 10 kecamatan dengan 125 buah desa/kelurahan (data sampai tahun 2008) dan empat buah UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi). Jumlah penduduk pada tahun 2010 mencapai 231.593 jiwa atau memiliki kepadatan penduduk 8 jiwa/km². Kecamatan dengan wilayah terluas di Kabupaten Paser adalah Kecamatan Long Kali dengan luas wilayah 2.385,39 km², termasuk di dalamnya luas daerah lautan yang mencapai 20,50 persen dari luas wilayah Kabupaten Paser secara keseluruhan, sedangkan kecamatan yang luas wilayahnya terkecil adalah Kecamatan Tanah Grogot, hanya seluas 33,58 km²  atau 2,89 persen.
Dari segi konstelasi regional, Kabupaten Paser berada di sebelah Selatan Provinsi Kalimantan Timur. Posisinya dilintasi oleh jalan arteri primer (jalan negara/nasional) yang menghubungkan Provinsi Kalimantan Timur dengan Kalimantan Selatan. Pada bagian timur Kabupaten Paser melintang selat Makassar, dimasa yang akan datang memiliki prospek dan fungsi penting sebagai jalur alternatif pelayaran internasional. Pelabuhan laut utama di Kabupaten Paser, yaitu Pelabuhan Teluk Adang terletak 12 km ke arah utara ibukota Kabupaten (Kota Tanah Grogot), sedangkan Kota Tanah Grogot berjarak lebih kurang dari 145 km dari Kota Balikpapan atau 260 km dari Ibukota Provinsi Kalimantan Timur, Kota Samarinda.